Jakarta - FIFA dinilai tidak memiliki pengetahuan yang cukup saat mengambil keputusan soal Indonesia. Keputusan FIFA bahkan dinilai bisa memicu persoalan baru.
Dalam kurun waktu sebulan ini, FIFA memberikan dua keputusan terkait kisruh di persepakbolaan Indonesia. Yang pertama diambil awal April silam dengan membentuk Komite Normalisasi (KN) untuk mengambilalih Exco PSSI.
Kemudian yang kedua dinyatakan hari ini, usai ketua KN Agum Gumelar bertandang ke markas besar FIFA di Swiss untuk melaporkan situasi terkini yang terjadi.
Salah satu keputusan FIFA yang menimbulkan keberatan dari sejumlah pihak adalah dilarangnya tiga nama yakni Arifin Panigoro, George Toisutta dan Nirwan D.Bakrie untuk mencalonkan diri sebagai ketua umum, wakil ketua umum, dan juga anggota Exco PSSI.
Ketetapan FIFA itu berdasarkan keputusan dari komite banding pemilihan yang menganulir nama Arifin, George, Nirwan, dan juga Nurdin Halid pada Februari silam.
"Keputusan yang diambil FIFA itu gambaran bahwa mereka tidak mengerti kondisi di Indonesia. Tiga nama itu bukan kelasnya Nurdin Halid. Mereka bukan napi, kok disamakan? Menurut saya itu keliru. Keputusan seperti itu mau sampai kapan? Apa seumur hidup?" ujar pengamat sepakbola Budiarto Shambazy .
Budiarto menilai bahwa selama ini FIFA hanya mengandalakan laporan jarak jauh dan sepihak dan tidak mau tahu dengan aspirasi dari masyarakat. Hal ini terutama terjadi kepada negara-negara yang dalam kancah persepakbolaan internasional tidak memiliki pamor yang kuat.
"Keputusan itu melanggar HAM dan juga demokrasi. Toh sekarang juga ada Komite Normalisasi, jadi keputusan yang dahulu-dahulu sudah terhapus," ujar wartawan senior tersebut.
Dari empat nama itu, Budiarto menilai Arifin dan Nirwan memiliki rekam jejak yang paling bagus. Jika mereka dilarang, maka akibatnya akan muncul nama baru sebagai ketua umum PSSI dan itu dinilai berpotensi memunculkan persoalan baru.
"Calon-calon baru selama ini masih belum menunjukkan jerih payah mengembangkan sepakbola Indonesia. Arifin dan Nirwan sudah. Dengan begini kemungkinan akan muncul tokoh baru. Risikonya kita harus memulai dari nol lagi. Sementara yang dua tadi tinggal memoles sistem yang sudah ada. Ketika kita mulai dari nol, kita buang potensi," tuntas Budiarto.
Dalam kurun waktu sebulan ini, FIFA memberikan dua keputusan terkait kisruh di persepakbolaan Indonesia. Yang pertama diambil awal April silam dengan membentuk Komite Normalisasi (KN) untuk mengambilalih Exco PSSI.
Kemudian yang kedua dinyatakan hari ini, usai ketua KN Agum Gumelar bertandang ke markas besar FIFA di Swiss untuk melaporkan situasi terkini yang terjadi.
Salah satu keputusan FIFA yang menimbulkan keberatan dari sejumlah pihak adalah dilarangnya tiga nama yakni Arifin Panigoro, George Toisutta dan Nirwan D.Bakrie untuk mencalonkan diri sebagai ketua umum, wakil ketua umum, dan juga anggota Exco PSSI.
Ketetapan FIFA itu berdasarkan keputusan dari komite banding pemilihan yang menganulir nama Arifin, George, Nirwan, dan juga Nurdin Halid pada Februari silam.
"Keputusan yang diambil FIFA itu gambaran bahwa mereka tidak mengerti kondisi di Indonesia. Tiga nama itu bukan kelasnya Nurdin Halid. Mereka bukan napi, kok disamakan? Menurut saya itu keliru. Keputusan seperti itu mau sampai kapan? Apa seumur hidup?" ujar pengamat sepakbola Budiarto Shambazy .
Budiarto menilai bahwa selama ini FIFA hanya mengandalakan laporan jarak jauh dan sepihak dan tidak mau tahu dengan aspirasi dari masyarakat. Hal ini terutama terjadi kepada negara-negara yang dalam kancah persepakbolaan internasional tidak memiliki pamor yang kuat.
"Keputusan itu melanggar HAM dan juga demokrasi. Toh sekarang juga ada Komite Normalisasi, jadi keputusan yang dahulu-dahulu sudah terhapus," ujar wartawan senior tersebut.
Dari empat nama itu, Budiarto menilai Arifin dan Nirwan memiliki rekam jejak yang paling bagus. Jika mereka dilarang, maka akibatnya akan muncul nama baru sebagai ketua umum PSSI dan itu dinilai berpotensi memunculkan persoalan baru.
"Calon-calon baru selama ini masih belum menunjukkan jerih payah mengembangkan sepakbola Indonesia. Arifin dan Nirwan sudah. Dengan begini kemungkinan akan muncul tokoh baru. Risikonya kita harus memulai dari nol lagi. Sementara yang dua tadi tinggal memoles sistem yang sudah ada. Ketika kita mulai dari nol, kita buang potensi," tuntas Budiarto.